Konsumsi Herbal Dadakan Tidak Akan Menguatkan Daya Tahan

“Mas, gimana dengan orang yang ngeborong jahe sampe puluhan kilo?” Tanya seseorang di inbox social media “Mau dagang jamu?” Tanya saya. “Hehe, nggak buat obat herbal, supaya gak mudah ketularan virus, misalnya” Saya hanya menjawab dengan icon tertawa terbahak. End of discussion.

Apa sih yang terjadi dengan konsep pengobatan herbal dan kekuatannya dalam menahan serbuan virus masuk ke dalam badan? Apakah ada yang salah di sana? Bukankah itu herbal dan alami? 


Meluruskan Konsep Pengobatan Herbal 

Saya ingat beberapa tahun lalu, seorang teman menceritakan panjang lebar tentang manfaat jahe saat ia minum segelas teh berisikan ruas jahe dimemarkan. “Ini bisa melebarkan pembuluh darah, jadi aman dari sakit jantung” Salah satu kalimat kuliahnya yang m’asih saya ingat. Itu beberapa tahun lalu, sekarang teman saya itu sih sudah tidak ada lagi. Kondisi gagal jantung merengutnya secara mendadak. Ironis? Tidak juga, mengingat gaya hidupnya, terutama pola makan yang tergolong ancur-ancuran. Ia juga perokok, walau kabarnya di masa-masa akhir ia berusaha mengurangi kebiasaan buruk itu. Yang pasti sekedar minum teh diberi jahe, jelas tidak bisa mengatasi masalah yang lebih intens melilit kehidupannya.

Bisa jadi jahe memang punya kemampuan melebarkan pembuluh darah. Sehingga pasokan darah dari dan ke jantung bisa menjadi lancar tanpa hambatan. Tapi kita harus lebih proporsional lagi melihat hal yang lebih prioritas. Misalnya, dalam keseharian ia perokok, berarti tubuhnya dipenuhi oleh radikal bebas yang membuat sel-sel pembentuk dinding pembuluh darahnya menjadi keropos. Agar tidak mudah pecah, tubuh melapisinya dengan substansi lengket bernama low density lipoprotein (LDL) atau biasa kita kenal dengan istilah kolesterol jahat. Di sisi lain teman saya ini juga mengkonsumsi banyak makanan yang mengandung LDL tersebut. Jadilah berlimpah pelumas yang lama kelamaan menggumpal dan menyumbat pembuluh darahnya. Saat itu terjadi di pembuluh darah koroner penyuplai darah ke jantung, efeknya jantungnya kesulitan mendapatkan suplai darah sesuai kebutuhan. Wajar bila seseorang kemudian meninggal mendadak. 

Dari sini kita bisa meluruskan konsep pengobatan herbal yang ternyata tidak bisa banyak menolong untuk memperbaiki keadaan. Kalaupun benar ada khasiat melebarkan pembuluh, fungsi itu tidak banyak berarti saat berbenturan dengan realita kebiasaan buruknya yang lebih dominan. Mungkin teman saya mengkonsumsi teh bercelup ruas jahe untuk mengkompensasi kebiasaan buruknya, tapi terbukti tidak mampu berbuat banyak. Logika sama berlaku juga untuk mereka yang terkena ‘demam’ konsumsi jahe mendadak banyak untuk mengantisipasi serbuan virus Corona. Mayoritas tidak akan banyak memberikan hasil. Apabila tidak dibarengi dengan gaya hidup sehat yang lebih dominan.


Bukan Pintu Keluar Darurat

Secara dadakan mengkonsumsi banyak herbal diharap memang akan memberikan penguatan daya tahan. Tapi periksa dulu kenyataan, apakah gaya hidup sehari-hari memungkinkan untuk herbal bisa berfungsi? Di era pandemi marak sempat beredar lelucon seperti berikut:

"Untuk menangkal Corona disarankan menggunakan jahe, sereh, kunyit, merica, temulawak..


..dan semua itu ada di Nasi Padang"

Lelucon ini ironis. Karena di satu sisi mayoritas kita tahu bahwa ini sekedar lelucon, tapi di sisi lain banyak diantara kita yang tetap mengharapkan hal sama mengharapkan herbal menyelamatkan bagai pintu keluar darurat dari masalah kesehatan yang gawat.  

Saat berita tentang virus Corona mencapai titik puncak popularitas di Indonesia, banyak orang panik dan secara berlebihan menelan informasi apapun yang diberikan untuk mengantisipasi masalah yang mungkin muncul. Saat jahe, kunyit, dan beberapa herbal diberitakan mempunyai kemampuan meningkatkan daya tahan tubuh, secara histeris banyak orang kemudian memborong bahan-bahan ini di mana pun berada. Kemudian diolah berdasarkan resep obat herbal apapun yang mereka terima. Ada yang direbus, ditumbuk hingga halus, atau seduhan campuran beragam herbal, dan lain sebagainya.

Apakah ini berhasil atau tidak? Di sini cerita saya di awal tulisan ini sepertinya akan terulang kembali. Kebanyakan orang yang menoleh dan berharap pada herbal sebagai obat ajaib yang berfungsi layaknya pintu darurat memiliki kesamaan, bukan golongan orang yang memiliki gaya hidup sehat konsisten dalam keseharian mereka. Mengapa? Karena umumnya mereka yang punya komitmen hidup sehat secara rutin sudah memiliki pengetahuan kesehatan mumpuni dan tahu bahwa cara seperti begini tidak akan banyak berguna. 

Hidup keseharian yang tergolong ‘berantakan’ tidak terjaga, tidak akan bisa membuat efek obat pada herbal bekerja seperti yang diharapkan. Jangankan mereka yang makan sembarangan, banyak sekali kebiasaan keseharian yang menjauhkan orang dari memiliki daya tahan baik. Mereka yang rutin minum susu, kopi dan teh setiap hari semisal, bisa jadi ada dalam kategori yang sulit mendapatkan manfaat dadakan dari mengkonsumsi herbal dalam jumlah banyak. 


Efek Samping Herbal

Di sisi lain animo konsumsi obat herbal lahir dari masalah yang lebih kompleks, kesadaran untuk mengurangi ketergantungan pada obat-obatan farmasi konvensional. Saya pernah membahasnya secara panjang lebar di sini. Masalahnya keinginan mengurangi ketergantungan pada obat-obatan farmasi tidak disertai dengan kesadaran untuk lebih memahami makna hakiki hidup sehat yang basisnya adalah pencegahan penyakit serta perawatan kesehatan. Mental yang terbentuk tetap mengkonsumsi apapun yang berfungsi seperti obat. Namanya saja yang herbal dan dianggap alami.

Padahal bila diteliti lebih jauh, aplikasi ramuan herbal yang dikerjakan sendiri memiliki kelemahan cukup signifikan dalam konteks memerangi penyakit. Ambil contoh sederhana semisal, dosis atau porsi konsumsi. Bila obat farmasi dosisnya kebanyakan didasari oleh sebuah penelitian atas kandungan nilai atau efeknya pada tubuh, mayoritas herbal yang dikonsumsi secara mandiri oleh masyarakat awam, dosisnya didasari oleh pengalaman empiris, mencoba-coba, dan ditularkan melalui informasi lisan belaka. Ini jelas akan memberikan efek yang berbeda pada tubuh. Antara berhasil, tidak berhasil, atau malah memberi hasil buruk.

Sisi buruk lain dari eforia atau demam konsumsi herbal dadakan yang didasari pada tren tertentu adalah konsentrasinya yang meningkat secara drastis dalam satu waktu. Di sini peran ilmu farmasi yang mumpuni berperan dalam meracik sebuah obat. Pengetahuan mengenai dosis yang aman diberikan pada tubuh! Konsumsi herbal secara mandiri oleh masyarakat awam umumnya tidak mengenal ini. Bila ada satu informasi baru tentang unsur herbal menarik, berbondong-bondong orang akan mengkonsumsinya dalam jumlah banyak secara mendadak. Dan ini bila terjadi tanpa kendali tentu memberikan efek buruk. Semisal dalam satu penelitian di Jepang pernah ditemukan fenomena konsumsi kunyit yang dipercaya memiliki segudang manfaat ternyata saat berlangsung berlarut-larut malah menimbulkan penumpukan mineral tertentu yang mengganggu fungsi hati atau lever.


Sama Saja Minum Obat Farmasi Biasa

Penerapan herbal sebagai obat, sejatinya tidak banyak perbedaan dengan mengkonsumsi obat farmasi konvensional.  Tetap ada efek samping yang harus diperhitungkan. Apalagi bila tidak ada kalkulasi jumlah dosis yang tepat. Penumpukan unsur yang berlebihan malah bisa mengganggu kesehatan. Seperti isu kunyit tadi. Selain memberi penumpukan unsur pada lever, yang juga acap memberi efek menguning pada beberapa bagian tubuh, berlebihan mengkonsumsi kunyit juga menghasilkan efek produksi asam lambung terlalu banyak. Yang jelas membuat masalah kesehatan baru.

Tidak hanya kunyit, salah satu herbal yang booming dikonsumsi saat isu virus Corona sedang marak kini, jahe semisal. Bisa memberi efek detak jantung tidak beraturan, apalagi mereka yang memiliki penyakit jantung dan harus mengkonsumsi obat-obatan tertentu secara rutin. Jahe juga memberi efek diuretikal yang membuat tubuh membuang cairan secara abnormal.

Seperti banyak hal dalam kehidupan, kesehatan diraih tidak dengan cara instan. Harus ada komitmen, disiplin dalam menerapkan pola hidup yang konsisten. Baru hasilnya akan terlihat. Yang pasti konsumsi herbal dadakan tidak akan menguatkan daya tahan. Mulai terapkan secara disiplin pola makan yang baik. Konsumsi buah dan sayuran segar lebih banyak dengan cara benar. Ekslusif konsumsi hanya air putih sesuai kebutuhan tubuh. Pilih yang memiliki kualitas terbaik. Disiplin menyediakan waktu yang cukup untuk beristirahat sesuai kebutuhan. Bila perlu rutin beraktivitas fisik dalam bentuk olahraga yang moderat. Pola-pola ini bila diterapkan secara teratur akan memberikan hasil yang permanen. Daya tahan kuat karena tubuh yang sehat.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Ibu Saya & Kanker Paru-parunya

Salah Diet Ngakunya Healing Crisis

Jatuh Sakit Karena Apa Yang Kita Lakukan