Tentang Ibu Saya & Kanker Paru-parunya

Kanker paru adalah salah satu kanker yang paling mematikan, kalau tidak bisa dibilang “paling”. Tidak hanya karena paru-paru adalah generator sistem pernafasan yang menentukan hidup mati manusia, tapi penyebaran sel kanker bila ‘induknya’ terdapat di paru relatif sangat cepat. 

Tidak heran bila acapkali kematian penderita kanker paru relatif cepat dari kali pertama mereka didiagnosa menderita.

Terkait kanker paru ini, walhasil banyak orang kembali menanyakan pengalaman saya dengan ibu saya sendiri. Beliau memang penderita kanker paru stadium 4A, yang dideteksi di tahun 2012 lalu. 

Tapi dengan perubahan gaya hidup dikombinasikan dengan pengobatan konvensional, beliau bisa menjalani kehidupan secara normal, hingga beberapa tahun jauh ke depan. Rata-rata pertanyaan yang masuk menanyakan apa yang dilakukan beliau?


Bereaksi Terharap Berita Buruk

Saya menemani ibu saya waktu ia awalnya divonis kanker paru. Dokter yang memberi tahu kebetulan adalah junior ibu saya sendiri di rumah sakit BUMN terbesar tanah air saat itu. Dokter yang menyampaikan bicara dengan saat berhati-hati, karena kondisi kanker paru dan stadium yang diderita ibu saya ada dalam level ‘sangat tidak baik’ kondisi yang ia gambarkan saat itu. 

Untungnya ibu saya sebagai seorang dokter sendiri, terbiasa menyimpan perasaan dan bersikap tenang. Beliau bersikap profesional saat menerima berita buruk tersebut. 

Saya? Juga sama tenangnya dengan beliau. Bukan karena saya profesional atau pandai menyimpan perasaan. Lebih ke sisi, saya tahu persis langkah apa yang harus dilakukan menghadapi kanker ini. 

Persoalannya sekarang tinggal bagaimana ibu saya menghadapinya? Apakah ia bersedia menjalani sesuatu yang harus dijalani atau tidak? Karena kata kuncinya cuma itu. Untung sekali, entah secara naluriah, dimana seorang ibu bisa membaca pikiran anaknya, ia menoleh pada saya dan mengatakan “Mama akan melakukan apa yang kamu lakukan selama ini” Reaksi singkat saya cuma mengeluarkan kata “Akhirnya...” 

Mungkin dokter yang menyampaikan berita agak bingung juga melihat sikap kami berdua yang tergolong dingin dalam bereaksi terhadap berita buruk, yang mungkin bisa membuat orang lain histeris. Yang pasti saat mengantar kami keluar kamarnya, beliau separuh berbisik menyampaikan pada saya, “Buat mamanya bahagia ya, terutama beberapa bulan ke depan”

Bisa jadi isyarat bahwa ia memprediksi usia ibu saya ya tinggal sekian, beberapa bulan saja.


Jangan Menyalahkan  

Di luar ruang praktek, kami duduk di atas bangku ruang tunggu, berdiskusi. Ibu saya seperti dokter konvensional kebanyakan, langsung membahas masalah genetik. Dan merekam siapa saja kerabat dekatnya yang meninggal karena kanker. Memang ada adiknya, adik ibunya, dan beberapa kerabat sangat dekat yang meninggal karena menderita kanker. Reaksi saya sebagai penggiat pola hidup sehat? Ya tertawa. Saya paling anti menyalahkan genetik. 

Tuhan tidak bisa disalahkan! Yang salah ya pemilik tubuhnya sendiri. Bisa jadi memang faktor genetik ambil peran, tapi kelemahan genetika bisa ditutupi oleh gaya hidup yang tepat. Dan problem genetik tersebut tidak berubah menjadi penyakit yang berat. 

Untungnya saya sempat membaca salah satu jurnal penelitian yang memang mendukung pendapat saya, bahwa genetik dalam kanker hanya mencakup 3-5% dari masalah penyebab sesungguhnya. Sisanya adalah gaya hidup. Ibu saya tidak berkutik dengan paparan ini.

Fokus bahasan lanjutan beliau, masih tipikal sebenarnya, ia bukan perokok tapi dikelilingi oleh beberapa perokok. Ayah saya sendiri dulu pernah jadi perokok berat, ia menempatkan posisinya sebagai perokok pasif sebagai alasan utama ia menderita kanker paru. 

Saya balik lagi, tidak pernah menyukai konsep menyalahkan faktor eksternal sebagai penyebab sebuah penyakit. Penyakit bisa terjadi karena kelalaian pemilik tubuh. Kalau bukan dia sendiri yang mengundang penyakit, bisa jadi gaya hidupnya melemahakan kemampuan pertahanan tubuh sehingga penyakit bisa terjadi. 

Ketimbang menyalahkan ayah saya yang sudah bertahun berhenti merokok, saya lebih menyebutkan satu persatu kebiasaan buruk ibu saya yang bisa jadi adalah pemicu sel kankernya.

Mulai dari ia pernah jadi peminum rutin kopi, beragam program diet pengurangan berat badan yang ia jalani, pola makannya yang sembarangan, hobinya mengudap aneka ragam kue, dan waktu tidurnya yang sangat pendek. Ia berangkat tidur cepat, tapi bangunnya cepat sekali, entah memerika pekerjaan mahasiswa, shalat malam atau sekedar bersiap lebih pagi ke tempat kerjanya yang relatif jauh dari rumah. Lagi beliau kehabisan argumen untuk yang satu ini. 

Alasan utama saya tidak tertarik membahas kambing hitam atas faktor eksternal adalah minimnya kemampuan kita untuk memperbaiki hal yang ada di luar diri kita. Semisal Anda menyalahkan perokok pasif? Seberapa sering Anda bisa memerintahkan orang yang merokok di sekeliling untuk berhenti? Bisa jadi jarang sekali atau Anda dijadikan musuh masyarakat bila terus-terusan melakukan itu. 

Kekonyolan ini akan berlipat ganda bila perokok itu Anda sendiri dan saat terkena kanker masih menyalahkan genetik. Tidak saja Anda bersikeras mempertahankan kesenangan yang merusak sel-sel tubuh diri sendiri, Anda pun ikut andil meracuni orang lain. 

Tapi apapun yang terjadi, bila isunya adalah perokok pasif, ketimbang menyalahkan, lebih baik perkuat daya tahan tubuh Anda agar asap rokok yang ada di sekitar tidak merusak kesehatan kita.

Nah perkuat daya tahan tubuh ini yang menjadi isu. Kebiasaan buruk ibu saya yang sudah disebut di atas, sangat identik dengan pengurangan kekuatan daya imun tubuhnya. Itu yang harus diperbaiki. Dari sana perubahan hidup pasti terjadi, kita bisa berharap perubahan bergerak ke arah yang baik. 

Kuncinya adalah jangan menyalahkan. Penderita penyakit apapun, terutama kanker, harus menerima kenyataan bahwa mereka punya andil paling besar melakukan kesalahan hingga mendapatkan penyakit yang dideritanya. Tidak  mudah, tapi bila sudah diterima, perubahan mudah dilakukan.

Optimalisasi Antioksidan 

Apa yang terjadi kemudian? Ibu saya bertanya, apakah mungkin bila ia menjadi pelaku Food Combining (FC) seperti saya, akan terjadi perbaikan sel kanker? Saya menggeleng ragu. FC walau ampuh sebagai pola makan sehat yang relatif mudah serta langgeng untuk dilakukan, masih membuka jendela untuk makanan teroksidasi, prosesan juga protein hewani semisal. 

Sesuatu yang relatif memberi efek buruk bagi penderita kanker. Apalagi kanker ibu saya adalah kanker paru, salah satu jenis kanker paling mematikan dari semua pilihan yang ada. 

Saya tidak yakin perubahan yang bisa dilakukan FC bisa sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru yang diderita ibu saya. 

Apalagi mengingat dokter yang menyampaikan menyiratkan bisa jadi waktu yang tersisa bagi ibu saya hanya ada dalam hitungan bulan. Dan memang setelah bertanya sana-sini saya mendapatkan angka rata-rata sekitar 6 bulanan.

Saya mengatakan pada ibu saya, pola makan Raw Food adalah pola makan terbaik bagi dia dalam mencegah perusakan agresif kanker parunya. Kenapa Raw Food? Karena pola makan yang memusatkan konten asupan makanan dalam bentuk buah-buahan serta sayuran segar atau mentah ini sarat akan antioksidan. 

Ada apa dengan antioksidan? Antioksidan adalah molekul yang mampu menghentikan kerusakan berantai sel yang ditimbulkan oleh reaksi kimia oksidasi. Sel rusak dalam jumlah berlebihan, akibat gaya hidup, adalah sel yang sangat mudah diubah menjadi sel kanker baru dan bisa memperbesar koloni kanker dalam tubuh. 

Penjelasan lebih lanjut mengenai oksidasi sudah sering saya singgung dalam beragam tulisan. 


Tindakan Cepat

Untuk memaksimalkan lagi konten antioksidan dalam tubuh ibu saya, langkah pertama saya adalah membeli mesin pemroses air minum yang menghasilkan air kaya antioksidan, atau biasa dikenal dengan merk dagang Air Kangen. 

Segelas air kangen yang segar keluar dari mesin baru dinyalakan mempunyai kandungan antioksidan hingga 5-10 kali lipat  dari 100 gr buah atau sayuran segar. Sebuah langkah efektif yang bisa memaksimalkan pasokan antiksodan bagi tubuh ibu saya. Mengingat minum relatif bisa dilakukan dalam frekuensi lebih banyak dari makan. 

Dan karena saya sendiri adalah pengajar yoga dengan tradisi Iyengar, yang materinya sering sekali dipergunakan untuk menjadi terapi penyembuhan pendamping metode medis konvensional. Beliau menjalani serangkaian latihan yoga rutin, sekitar 2-3 kali seminggu. 

Ragam hal ini dilakukan secara disiplin berbulan-bulan di awal sejak ia didiagnosa menderita kanker. Ia juga berpartisipasi aktif waktu saya membuat semacam acara kemping detoksifikasi selama 3 hari, dengan hanya makan buah-buahan serta sayuran segar dipadu dengan beberapa sesi yoga rekuperatif. 

Semua ini adalah tindakan instan yang cepat. Reaktif dilakukan di awal saat beliau divonis kanker.


Kualitas Hidup Maksimal 

Berita baiknya adalah 5 bulan setelah itu, dalam satu waktu check up di negara tetangga, sel kanker yang tadinya ganas serta mendominasi kedua belah paru-paru ibu saya mengalami perbaikan kondisi secara signifikan. 

Paru-paru sebelah kirinya bersih, dan paru-paru kanannya menyisakan kumpulan sel kanker yang menciut drastis, hanya ada dua titik. Itu pun dalam keadaan ‘tidak nakal’ lagi, atau malignant istilah yang umum digunakan.

Menggembirakan? Jelas. Mengingat bahwa prediksi sisa usianya yang bulanan bisa dipatahkan. Tapi potensial juga membuat terlena. Dan benar! Sebagai seorang dokter konvenisonal yang berpendapat bahwa setiap penyakit harus dienyahkan dari tubuh, ibu saya malah penasaran dengan kanker yang masih tersisa dalam tubuhnya. 

Bukannya fokus pada kenyataan bahwa ia bisa hidup normal jauh dari ketidak berdayaan seperti yang ditakuti sebelumnya. 

 Setidaknya ia bisa menjalani keseharian tetap dengan pedal gas ‘diinjak’ penuh seperti sebelumnya. Bahkan lebih kencang lagi. Setelah sekian tahun setelah itu, kecepatan hidup ibu saya tetap ‘kencang’. 

Walau sudah pensiun sebagai dokter belasan tahun dari tulisan ini dibuat, ia diberi kepercayaan menjadi wakil direktur utama, atau direktur operasional secara fungsi di sebuah rumah sakit yang berjarak lebih dari 30 km dari rumahnya. 

Ia pun masih mengajar secara aktif di sebuah universitas swasta. Dan karena kesibukan gandanya, ia terpaksa mengundurkan diri dari jabatan pembantu dekan. Karena hal sama ia pun mengundurkan diri dari tugas lain sebagai akademisi di universitas negeri ternama di pinggiran ibu kota. 

Banyak yang sulit percaya ia penyintas kanker paru stadium 4 karena sepak terjangnya di manajemen rumah sakit dan komunitas dimana ia mengajar. Bahkan saat pandemi melanda, ia jadi garda depan pengendali operasional rumah sakitnya. Ia sendiri sempat tertular di awal pandemi tapi sembuh setelah seminggu dikarantina. Lagi sebuah kondisi lumayan bagi penderita kanker paru.

Ibu saya menjadi bukti bahwa pasca divonis kanker, seberat apapun, perubahan pola hidup bisa membuat kualitas kehidupan tetap bisa dijalani dengan maksimal. Bukan seperti kebanyakan penderita kanker yang menjalani metode medis konvensional tanpa mengubah gaya hidup mereka. Sering hanya sekedar memperpanjang usia, namun dilewati dengan penuh penderitaan.  


Kualitas Hidup 

Setelah melewati sekian tahun dari pertama ia divonis, disiplin makan sehat ibu saya memang naik turun. Ia sedikit kehilangan kepercayaan terhadap efektifitas Raw Food dan yoga misalnya. Tapi setidaknya ia masih komit menjauhi protein hewani -agar tidak membebani tubuh dengan keberadaan sel cacat yang mudah berubah menjadi sel kanker baru- dan turunannya. 

Seberapa lama ibu saya bisa bertahan? Kira-kira sepuluh tahun kemudian ia baru berpulang. Beliau jatuh sakit kira-kira dua - tiga bulan sebelum berpulang. Istirahat di tempat tidur, menolak dirawat di RS, karena ingin dikelilingi selalu oleh orang-orang tercinta. Dan beliau berpulang dalam pelukan suami, anak, serta cucu di sekelilingnya.

Tetap kalah oleh kanker? Buat kami keluarganya, bukan itu kondisinya. Isu yang ada lebih ke sisi syukuri apa yang sudah terjadi. Kualitas hidup yang sudah ia lewati dan jalani selama ini sebagai proses yang harus diselebrasi. Bayangkan hampir satu dekade sebelumnya umur beliau dianggap tinggal hitungan bulan. Itu sesuatu yang harus disyukuri dengan amat sangat bukan?




 


 

Comments

  1. Mantap jiwa.. awalnya sempat ☹️☹️☹️ tp ending nya 😊😊 Si ibunya Sehat kembali.. 😇😇
    Raw food dan apa lg itu temenan nya, siapa tau bs bantu ksh info ke tmn yg terkena Kanker rahim.. 😭😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe saya gak familiar dengan maksud temenannya? Tapi 3 hal yang dilakukan untuk ibu saya di luar tindakan medikasi formal
      1. Raw Food
      2. Beli Mesin Air Kangen
      3. Yoga (tradisi Iyengar)

      Delete
  2. Ketika tahu konsepnya, sungguh luar biasa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setidaknya bisa jadi tenang. Tau harus melakukan apa

      Delete
  3. Luar biasa sekali manfaat dari rawfood,sya masih dalam tahap belajar,paling susah memisahkan protein hewani dengan karbohidrat walau sedikit demi sedikit mulai bisa membiasakan,mantap bang erikar

    ReplyDelete
  4. Luar biasa sekali manfaat dari rawfood,sya masih dalam tahap belajar,paling susah memisahkan protein hewani dengan karbohidrat walau sedikit demi sedikit mulai bisa membiasakan,mantap bang erikar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari semua pola makan sehat sejati, Raw Food memang yang paling sulit

      Delete
  5. Untuk terapi air antioksidan (kangen water) pada saat ibunda terkena kanker ph yang dianjurkan berapa coach?

    ReplyDelete
    Replies
    1. bukan PH ya yang jadi senjata air kangen vs kanker, tapi kekuatan antioksidan.. sayangnya harus fresh dari mesin, baru efektif

      Delete
  6. ibunda bang erykarlebang apakah juga dikemoterapi ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jelas, dia sendiri kan dokter.. Tapi semua pasien sejenis serta seangkatan beliau, bahkan yang stadiumnya di bawah, sudah meninggal jauh sebelum. Dan mayoritas mereka hanya menjalani kemoterapi atau tindakan konvensional seputar kanker. Tanpa perubahan pola hidup berarti

      Delete
  7. Masya Allah sangat menginspirasi, kalau boleh tau apakah selama menjalani fc beliau masih mengkonsumsi obat2an dan suplemen pak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. obat standar penderita kanker ya jelas beliau konsumsi, tapi kan penderita lainnya dengan obat, bahkan stadium jauh lebih rendah,
      sama sudah meninggal jauh lebih dulu

      Delete
  8. Pagi.. sy jd penderita ca hati, dan saat ini sdh mengubah pola makan menjadi vegan. Klu blh tau utk makanan sehari-hari ibunya spt apa? Sayur/buah apa yg byk dikonsumsi? Terimakasih sblmnya ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak ada yang bersifat super food, semua dilakukan dalam moderasi yang sama. Utamanya adalah pemahaman dan disiplin dalam pelaksanaan

      Delete
  9. MasyaAllah, sangat mencerahkan. Sekatang saya tau dimana kesalahan kami selama ini.

    ReplyDelete
  10. haiii kak erykar papa ku kena cancer paru2 baru 4 bulan, apakah boleh aku tanya2 dan menghubungi kk mengenai cancer. thankyou ya kak

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Salah Diet Ngakunya Healing Crisis

Jatuh Sakit Karena Apa Yang Kita Lakukan