BERAS PUTIH SI PEMBAWA PETAKA
Kok elu masih makan nasi?” Tanya seorang teman saat kami serombongan sedang makan di sebuah warung sop terkenal di pinggir jalan. “Sesekali aja sih, lagian mana enak makan beginian tanpa nasi?” Jawab saya. “Oh gue sih udah sama sekali berenti makan nasi” Tukasnya. “Wah hebat. Kenapa? Apa ada alasan tertentu?” Tanya saya. “Gue mau umur panjang” Jawabnya pendek.
Saya tersenyum mendengar jawabannya. Melihat menu sop kaki kambing pilihan mayoritas dari kami semua yang ada di sini, jawaban teman saya itu agak paradoks. Berlawan dengan menu yang dipilih. Lagipula melihat pilihan minumannya yang berupa segelas besar teh hangat, asumsinya untuk hidup sehat dengan tidak makan nasi, bisa diibaratkan seperti orang yang berusaha menjadi orang kaya dengan hanya memasukkan uang recehan ke dalam celengan. Relatif sia-sia.
Beras Putih Adalah Beras Rusak
Kenapa ketakutan makan nasi, seperti teman saya itu, muncul? Lebih karena hal menakutkan yang sering disampaikan kepada orang banyak tapi tidak dengan cara proporsional. Mulai dari kegemukan, hingga beragam penyakit serius, penurunan daya tahan tubuh, bahkan hingga kanker.
Nasi yang kita makan berasal dari benih padi. Benih tersebutlah yang kita sebut beras, yang bila dimasak akan berubah bentuk menjadi nasi. Beras dalam kondisi aslinya terbungkus oleh sekam. Tapi banyak sekali di antara kita yang lebih mengenal beras putih, hasil penggilingan, sebagai beras yang paling populer untuk dikonsumsi.
Bila sekam dibuang, akan tersisa dinding beras yang berwarna cokelat. Saat ia diproses agar terbuang lebih banyak lagi sisi cokelatnya, akan tersisa mata beras, dan bila dibuang lagi akan tersisa beras putih yang bersih serta sepintas terlihat transparan bila dihadapkan pada cahaya langsung. Mengapa proses ini terjadi berulang-ulang? Umumnya beras yang masih berbentuk asli, berwarna cokelat dan mengandung sekam, saat dimasak sifatnya relatif keras dan tidak mengembang maksimal. Proses penggilingan intensif yang membuang banyak elemen beras, menghasilkan beras putih yang saat dimasak akan menjadi pulen, mengembang maksimal, relatif terasa manis serta lumer di mulut. Dengan kata lain, beras putih adalah beras normal yang ‘dirusak’
Ragam Masalah Kesehatan Yang Muncul
Tapi sejatinya sifat beras saat dimasak, tidak bisa mengembang dan manis seenak itu di mulut tanpa menimbulkan resiko atau masalah kesehatan yang muncul di belakang. Rasa manis memperlihatkan bahwa kandungan gula yang ada pada nasi putih relatif cepat menaikkan gula darah. Ia bisa terekspos maksimal karena keberadaan serat yang seharusnya menahan sudah dibuang saat proses penggilingan.
Itu sebabnya penderita diabetes, mudah menemukan kadar gula darah mereka melejit naik pasca makan nasi putih. Dan berujung memberikan masalah bagi pankreas, serta kadar insulin terlalu tinggi yang harus diproduksi. Masalah ini akan merembet ke banyak sisi. Dari mulai asupan kalori di atas kebutuhan hingga disimpan tubuh dalam bentuk lemak berlebihan, hingga menghasilkan obesitas. Masalah obesitas hanya semacam puncak gunung es, karena isu kesehatan yang menyertai biasanya lebih parah, mulai dari masalah jantung, organ vital lain.
Lewat penelitian mendalam kita mengenal masalah lain yang rentan muncul akibat akumulasi gula darah terlalu tinggi yang muncul dari rutinitas makan, salah satunya tentu saja nasi putih terlalu banyak. Yang paling ditakuti adalah munculnya sel kanker. Karena sudah lama diketahui sel-sel kanker amat memanfaatkan ‘gula’ untuk bahan bakar kehidupan mereka. Itu sebabnya membanjiri tubuh kita dengan gula darah yang didapat dari makanan ‘rendah guna’ seperti nasi putih amat rentan mendatangkan bahaya semengerikan perubahan sel sehat menjadi sel kanker.
Beras yang ‘dipaksa’ menjadi putih juga memiliki efek samping kehilangan pelindungnya dari paparan oksigen. Akibatnya beras putih adalah makanan rentan teroksidasi, dan lewat proses masaknya menjadi nasi putih membawa berlipat bahaya radikal bebas ke dalam tubuh. Sekali lagi ini akan membuat ancaman kerusakan sel-sel tubuh menjadi berlipat ganda. Dari mulai penyakit degeneratif seperti gagal jantung, ginjal, liver, penyumbatan, stroke, hingga kanker. Ini baru segelintir contoh betapa mengerikan kemampuan membawa petaka yang dibawa beras putih. Sayangnya makan nasi berasal dari sumber itu menjadi budaya makan paling umum.
Bukan Berarti Berhenti Makan Beras
Ketakutan ini sayangnya sering dikonversikan oleh banyak orang dengan mengharamkan secara membabi-buta makan nasi. Di luar ketakutan tersebut, yang paling umum adalah upaya untuk mengurangi asupan nasi karena menganggap kandungan gula terlalu tinggi dari karbohidrat membuat tubuh menjadi gemuk.
Ini asumsi yang sangat amat keliru. Manusia sejatinya didisain untuk mendapatkan ‘bahan bakar’ utama penyambung hidupnya dari karbohidat. Jadi bukan berarti kita berhenti makan beras, karena tidak bisa dipungkiri, itu adalah kodrat. Menghindari hal kodrati yang elementer dan mencari gantinya dari unsur lain seperti lemak, dan protein semata justru akan melahirkan masalah yang lebih kompleks, bahkan mematikan, bagi kehidupan.
Idealnya manusia tetap mengkonsumsi makanan berbasis karbohidrat, termasuk beras, sekitar 60-80% dari menu hariannya. Dari menu karbohidrat itu, idealnya 40-50% bebasis biji-bijian, tentunya beras termasuk di sini. Kita tinggal memperhatikan jenis beras yang kita pilih. Beras cokelat, merah, atau hitam yang alami, adalah pilihan yang tepat. Beras jenis demikian yang dibudi dayakan secara normal masih memiliki kemampuan hidup, karena potensi mereka untuk juga hidup, tumbuh tunas kecambah, masih tinggi.
Beras cokelat, merah, dan hitam yang alami mengandung beragam nutrisi penting bagi tubuh dalam jumlah seimbang. Protein, karbohidrat, lemak, serat makanan, vitamin B1, vitamin E, serta beragam mineral penting bagi kehidupan kesehatan tubuh. Keberadaan serat yang masih lengkap pada beras-beras jenis ini juga menjadi penghalang bagi gula darah meroket saat ia dikonsumsi dalam bentuk nasi.
Sayangnya fenomena alamiah beras cokelat, merah, dan hitam saat menjadi nasi, sering dianggap sebagai kekurangan dan membuat banyak orang lebih memilih nasi putih. Sejatinya kekayaannya akan serat dan ‘mata’ beras yang menjadi inti kehidupan, membuat beras jenis demikian saat dimasak tidak akan mengalami fase mengembang sempurna serta memberi sensasi lumer serta manis di mulut. Ia relatif menjadi keras dan harus dikunyah baik agar bisa disantap dengan enak.
Tapi itulah sejatinya makan yang baik dan benar. Anda harus mengunyah secara cermat, apapun yang Anda makan. Agar air liur yang mengandung beragam manfaat, terutama sebagai gerbang terdepan sistem cerna, bisa tercampur baik dengan makanan. Sehingga saat ditelan, memudahkan untuk diserap maksimal oleh tubuh.
Anda juga bisa memasak beras-beras yang baik ini dengan beragam teknik agar rasanya lebih enak. Saya biasa mencampurnya dengan aneka ragam biji-bijian, jali, oat non instan, bulgur, kacang hijau, dan lain sebagainya. Pun diberi taburan garam laut. Coba juga tambahkan bawang putih dimemarkan ke dalamnya. Sehingga saat selesai dimasak, ia berubah menjadi nasi yang sangat lezat.
Bagi manusia, makan nasi itu menyenangkan, mengenyangkan dan sesuai kodrat. Jadi tidak perlu dihindari, kita hanya perlu mengkonsumsinya dengan cara yang tepat.
Comments
Post a Comment